Siapa bilang hidup di pesantren itu mudah? Hidup di pesantren tentu berbeda dengan kehidupan di luarnya. Jauh dari orangtua, cuci pakaian sendiri, bangun pagi, tertib berjamaah, dan bertemu dengan orang dari pelbagai latar belakang berbeda.
Semuanya bukanlah hal mudah, tapi sangat mungkin dinikmati dan dilalui dengan gembira. Tapi hidup di pesantren punya kesan tersendiri yang membuat banyak orang betah, senang dan kadang justru ingin mengenang selalu dan sesekali kembali ke lingkungan pesantren.
Bagi tamatan pesantren, bertemu dengan rekan sejawat semasa “nyantrik” adalah hal luar biasa. Tidak saja itu, bertemu dengan orang satu almamater saja sudah membuat bahagia.
Apalagi jika menyempatkan diri bercerita soal masa lalu dan pelbagai hal yang dilalui di pesantren. Berikut ini adalah beberapa hal yang suka diceritakan kembali oleh alumni pesantren:
Keragaman Orang dan Latar Belakang
Berada di pesantren seakan berada di sebuah “melting pot”, apalagi jika “nyantrik” di pesantren besar. Seorang santri dituntut untuk bergaul dan bersosialisasi dengan orang dari pelbagai latar belakang.
Ini akan memberikan pengalaman tersendiri untuk mengerti dan memahami keragaman. Santri akan mengerti tipologi individu-individu di sekitarnya, ekspresi kebudayaan suku lain dan bahkan cara berekspresi orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuat santri lebih mampu beradaptasi dengan keberagaman di lingkungan sosialnya. Mereka sudah terlatih.
Kisah-kisah lucu satu atau dua santri
Selalu ada kisah lucu yang tersemat dalam perjalanan mondok seorang santri. Selalu ada tokoh penghibur di tengah kehidupan santri. Candaan adalah salah satu cara santri menghibur diri. Bagaimana lagi, tv tak ada handphone pun terbatas. Jadilah candaan sebagai cara menghibur diri.
Biasanya santri yang lucu akan selalu dikenang. Ada yang lucu alamiah, ada pula yang suka berkelakar lucu. Yang lucu alamiah itu seperti santri yang tidurnya buat heboh. Di sana-sini akan mudah tidur. Ada pula yang memang suka berkelakar menghibur santri lainnya.
Mengaji Bersama
Belajar agama secara berjamaah memberikan pengalaman yang lebih baik dibandingkan dengan belajar agama sendiri. Berdiskusi soal agama di pesantren membuat santri dewasa berhadapan dengan beragamnya pendapat dan tafsir atas agama. Ini asyik.
Mengaji tidak saja membaca, melainkan mengkaji. Beberapa pesantren punya forum pembahasan masalah (bahtsul masail). Forum ini berguna untuk melatih santri bertukar pikiran sekaligus analitik terhadap perkembangan kebutuhan hukum agama. Wow, ini keren. Biasanya, tetap ada santri yang tidur saat mengaji. Ini mungkin salah satu sekuel yang banyak diceritakan.
Makan Bersama
Jauh dari keluarga asli membuat para santri dekat satu dengan lainnya. Meski umumnya orang memiliki teman karib yang utama, namun situasi hidup bersama. Kerelaan berbagi menjadi salah satu keutamaan hidup di pesantren.
Bagi santri yang dekat atau baru pulang, membawa lauk dari rumah adalah kemewahan tersendiri bagi santri. Saat itu pula pepatah berlaku: ada gula ada semut. Santri biasanya tidak menikmati kiriman lauk-pauknya sendiri. Ia berbagi.
Makan bersama dalam satu loyang adalah salah satu cara yang sering dilakukan. Tidak jarang tempat makan bukan pula loyang atau nampan, melainkan daun. Ini membuat santri dekat dengan sesama dan kuat dalam berbagi.
Asrama dengan segala serba-serbinya
Hidup di asrama mungkin berbeda dibandingkan dengan tinggal di rumah sendiri dengan kehadiran orangtua atau keluarga dekat lainnya. Tinggal di asrama membuat santri mau dan tidak mau harus berinteraksi dengan orang lain yang bukan keluarganya.
Hal ini mengasah kemampuan bersosialisasi santri, sekaligus menjadikan asrama sebagai ruang keluarga yang lebih besar. Bertahun-tahun tinggal bersama, seorang santri kerap merasa sudah menjadi keluarga bagi santri lainnya.